MEDAN – Hingga bulan Juni 2025, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) berhasil menyelesaikan sebanyak 27 perkara melalui penerapan keadilan restoratif (Restorative Justice/RJ). Perkara-perkara tersebut berasal dari 28 Kejaksaan Negeri (Kejari) dan 8 Cabang Kejaksaan Negeri di wilayah hukum Kejati Sumut.
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sumut, Adre W Ginting, SH, MH, dalam keterangannya pada Senin (30/6/2025) mengatakan bahwa penyumbang perkara restorative justice terbanyak berasal dari Kejaksaan Negeri Samosir dengan total 5 perkara, disusul oleh beberapa Kejari lainnya dengan jumlah bervariasi antara 3 hingga 1 perkara.
“Penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice ini dilakukan secara berjenjang dan tentunya memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020. Syaratnya, tersangka adalah pelaku yang baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun, serta kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp2,5 juta,” jelasnya.
Adre menegaskan bahwa penerapan RJ tidak bisa dilakukan apabila dari hasil pelacakan sistem online ditemukan bahwa pelaku pernah terlibat perkara pidana sebelumnya.
“Proses RJ ini diawali oleh jaksa fasilitator yang menilai esensi dari perkara tersebut. Misalnya, perkara penganiayaan antara abang dan adik atau ayah dan anak. Jika perkara seperti ini tetap dilanjutkan sampai ke pengadilan medan berujung pidana penjara, justru bisa menimbulkan dampak buruk seperti dendam yang berkepanjangan,” terangnya.
Dengan adanya penerapan Perja Nomor 15 Tahun 2020, kata Adre, hubungan antara tersangka dan korban bisa dipulihkan dan dikembalikan seperti semula.
“Tujuan dari restorative justice adalah untuk memulihkan keadaan, menciptakan harmoni di tengah masyarakat, serta memastikan bahwa korban dan tersangka berdamai. Selain itu, tersangka juga membuat komitmen tidak akan mengulangi perbuatannya,” tegasnya.
Adre menambahkan, jumlah perkara yang diselesaikan melalui pendekatan restorative justice berpotensi terus bertambah hingga akhir tahun 2025.
“Penerapan Perja No. 15 Tahun 2020 ini lebih mengedepankan hati nurani dan esensi kemanusiaan dari jaksa fasilitator. Penyelesaian perkara secara humanis juga menggali nilai-nilai kearifan lokal dan prinsip penyelesaian masalah secara kekeluargaan,” pungkasnya.
(TIM)